Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrati Indonesia (PDIP) Arif
Budimanta menilai Indonesia pada tahun 2012 tanpa pemimpin bangsa.
Sebab, arah bangsa tidak jelas akan dibawa ke mana.
“Negara
berjalan layaknya kapal tanpa nahkoda di tengah samudra. Kami tidak tahu
tujuannya, berlayar saja,” tegas Arif di Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan,
Jakarta, dalam diskusi bertajuk ‘Refleksi MPR RI tentang Stabilitas
Politk 2013′.
Menurut dia, ini yang tidak terlihat di tahun 2012.
Sejauh ini pemimpin tidak mencerminkan kedekatannya dengan rakyat.
Sehingga segala kebijakan yang diambil terlihat jauh dengan rakyat.
“Terjadi
ketika pemimpin tidak menyadari, tapi pemimpin yang mengambil jarak
dengan bangsanya. Yang membuat quality itu ya negara, ya presiden,”
tandas Arif.
Model kepemimpinan di 2012 ini, lanjut dia, tidak
mencerminkan arah yang jelas. Justru semakin berkutat pada
polemik-polemik baru yang dihasilkan pemimpin itu sendiri dalam hal ini
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Ketika pemimpin mengambil
jarak, menimbulkan polemik baru, kata-kata bijak yang seolah-olah
menghasilkan padahal menghasilkan masalah baru,” kata dia.
Arif
juga menilai, fungsi pemerintah sebagai pengambil kebijakan juga tidak
berjalan. Justru, yang terjadi adalah pemimpin hanya berpendapat.
“Seperti pengamat saja. Di sinilah masalahnya. Bahwa pemimpin yang masih
jauh dari rakyat, dan mengambil kebijakan yang tidak mengena pada
rakyat.”
“Yang menjadi persoalan pemimpin yang jaga jarak dan mengkerdilkan konstitusi melalui kebijakannya,” tambah Arif.
Sebelumnya
dikatakan, Indonesia saat ini dinilai kurang memiliki pemimpin yang
tegas dan cepat dalam mengambil suatu keputusan. Selain itu, pemimpin
yang ada saat ini dinilai juga kurang merakyat. Demikian disampaikan
pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)
Purwokerto, Rubijanto Misman.
“Memang susah mencari figur-figur
yang seperti ini. Jadi, saya berharap, presiden dalam lima tahun ke
depan (presiden terpilih dalam Pemilihan Presiden 2014, red.), di
samping orangnya tegas, berani mengambil risiko, cepat dalam mengambil
keputusan, dan mau melindungi rakyatnya,” kata dia kepada wartawan di
Purwokerto, hari ini.
Pernyataan tersebut sebagai respon terkait
munculnya beberapa nama yang bakal meramaikan bursa calon presiden pada
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Mengenai hal itu, setiap warga
negara memiliki hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden.
Kendati
sah-sah saja melakukan langkah politik tersebut, menurut dia, setiap
warga negara tetap harus menakar kemampuannya. Sehingga tidak hanya
berpatokan pada popularitas, yang berlabel pada tokoh masyarakat dan
seniman.
“Sering kali ada kesan orang itu terjebak dalam
popularitas sebagai seniman atau artis. Kalau kita menelusuri ‘track
record-nya’ (rekam jejaknya, red.), saya tidak pernah dengar orang-orang
itu punya ‘track record’ yang berkaitan dengan kemampuan manajerial
maupun ‘leadership’ dalam suatu organisasi, apalagi ini suatu negara.
Saya melihatnya seperti latah,” tuturnya.
Sejumlah artis misalnya,
dicontohkan dia, ikut mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Pencalonan para tersebut, dinilai dia, sering kalai dilihat sebagai
sebuah glamor. Karena, hal itu disebabkan sosok keartisannya yang
memiliki konstituen, yang tidak lain para penggemarnya dan wajar jika
kemudian dengan setia mendukung.
“Tetapi kita tidak tahu persis
kompetensi dan kredibilitas yang bersangkutan. Jadi harus dilihat ‘track
record-nya’, latar belakangnya dia dulu,” kata mantan Rektor Unsoed
Purwokerto ini.
Pemimpin bangsa, ujar dia, tidak hanya sekadar
bermodalkan pada popularitas seseorang. Melainkan juga menyertakan
penilaian-penilaian lain, Menurut Rubijanto, jika orang itu merupakan
seorang akademisi, dia harus mempunyai prestasi yang bagus dalam
memimpin perguruan tinggi serta memiliki kemampuan-kemampuan yang bagus
dalam memajukan institusi sehingga berdampak pada kesejahteraan
masyarakat.
fimadani