Menjadi sangat berharga pelajaran yang dipetik oleh Partai Islam di
beberapa tempat, seperti juga di Mesir. Gejolak awal diantara dekrit
konstitusi, diawal pertama pembentukan pada ketentuan yang baku mengenai
syariat Islam, atau sebuah prinsip tanpa harus menyebutkan dengan jelas
mengenai hukum syariat Islam, menjadi perdebatan yang sengit saat itu
di Mesir, lain lagi saat ini yang Umat Islam di Mesir bersatu untuk
membela dekrit Presiden.
Sehingga diawal-awal, terdapat demonstrasi beberapa pergerakan Islam
di Mesir untuk meminta supaya Presiden Mursi menjadikan hukum di Mesir,
mutlak menggunakan hukum Islam.
Lantaran kemenangan Partai Islam, setiap kali kemenangan itu terjadi
selalu dihubung-hubungkan dengan cara menggulingkan hukum lama menjadi
hukum baru dengan menggunakan hukum Islam.
Ini tentunya sudah menjadi “general mainstream” dari berbagai
pemikiran antara umat Islam sendiri bahkan non muslim. Setiap orang
berfikir dan berpendapat ketika Islam yang berkuasa, maka hukum lama
menjadi tidak berlaku karena digantikan dengan hukum Islam, dan proses
itu dengan cepat terjadi.
Tentu menjadi kesalahan dan terburu-buru dalam menganggap hal tersebut.
Ibarat Demokrasi, beberapa umat Islam pun ada yang mengharamkannya
sehingga ketika ada umat Islam berjuang melalui demokrasi maka dianggap
kufur.
Diantara corak pemikiran ini, arus utamanya yaitu menjadikan Islam
berkuasa dan syariat Islam langsung menjadi tujuan didirikannya
kekuasaan tersebut.
Mengenal paham seperti ini, menjadi rancu ketika demokrasi dianggap
sebagai sistem yang haram. Karena ketika sudah masuk dalam sistem,
demokrasi ibarat khamr, yang ia haram dari proses pembuatannya, proses
produksi, proses labelisasi, hingga pekerjanya, kantin yanga ada di
pabriknya, pun, menjadi seluruhnya adalah haram.
Atau bahkan ada yang lebih ekstrim, dengan menyatakan bahwa demokrasi
itu adalah sebuah agama baru, ideologi, millah bahkan hingga dien.
Demokrasi dianggap sebagai ideologi atau agama lain yang mestinya tidak
boleh umat Islam untuk mengikutinya.
Ini tentu menjadi sengat ektrim, karena bisa jadi yang membuat fatwa
seperti itu maka ia juga merupakan pengguna agama demokrasi walaupun ia
menentangnya.
Jika demokrasi dianggap ideologi/agama, tentu Islam sangat keras
menentang seorang muslim untuk ikut kedalamnya, malah itu bisa menjadi
syirik besar hingga musyrik.
Jika demokrasi sudah dianggap ideologi/agama, maka seluruh bagian
demokrasi haram untuk digunakannya, bukan lagi proses pembuatan dan
produksinya tetapi sekedar “berteman” dengan berada disekitarnya maka
Allah Swt akan melaknati seorang muslim tersebut, apalagi sangat aneh
jika ada segolongan orang yang berpaham demokrasi adalah ideologi/agama
lalu ia masih saja berada dalam negara demokrasi bahkan hingga
menggunakan “bapak Demokrasi” seperti Mahkamah Konstitusi dalam alat
perjuangannya.
Karena sudah sangat jelas sekali ketika kita menganggap demokrasi itu
sebuah ideologi/agama, maka negara demokrasi adalah negara agama, dan
ia melingkupi ajaran-ajarannya (sistem perundang-undangannya), tentu
sebagai yang berada didalamnya maka secara otomatis mau atau tidak mau
orang yang mengharamkan demokrasi tersebut akan ikut serta “menyembah”
ritual sistem demokrasi. Dengan masih tetap membayar pajak, menggunakan
KTP, Sim, dsbnya. Itu semua adalah “ritual” ibadah demokrasi yang
mengatur segala sistem pada negara “agama” demokrasi tersebut.
Dan Sim, KTP, Kartu Keluarga, dsbnya. Semua ini bukan lagi sebatas
budaya (’urf), tetapi ia diatur dalam sebuah UU negara “agama”
Demokrasi, yang apabila ada seseorang tidak mematuhi maka mereka akan
terkena hukuman. Proses punishment (hukuman) yang ada dalam UU negara
Demokrasi ibaratnya adalah sebuah “kitab suci” agama demokrasi itu
sendiri.
Karena itu jika, ada orang beranggapan demokrasi adalah ideologi dan
agama. Maka semestinya orang-orang seperti ini tidak hidup dalam negara
demokrasi, karena ia akan menafikkan fakta mengenai hal tersebut. Jika
ada yang beranggapan “Bumi ini milik Allah,” dan setiap orang bisa
tinggal dimanapun, jika ini yang menjadi alasan. Maka tentu karena
sebuah negara demokrasi membolehkan setiap orang untuk tinggal
didalamnya, maka orang berpaham demokrasi itu ideologi/agama boleh-boleh
saja ia tinggal. Tetapi orang seperti ini akan mendapatkan dosa-dosa
setiap detik, menit, jam dan hari-harinya lantaran ia berada dalam
naungan “agama” demokrasi.
Tentu orang yang beranggapan demokrasi adalah sebuah ideologi/agama,
maka orang seperti ini takalluf dalam memahami Islam, sebagaimana
menurut Imam Nawawi “takalluf adalah perbuatan dan perkataan yang
dilakukan dengan penuh kesulitan dan kurang terdapat kemaslahatan di
dalamnya.”
Rasulullah Saw bersabda, yang Insya Allah “Kami (para shahabat)
dilarang untuk takalluf ( perbuatan membebani diri).” (HR. AlBukhari)
Atau hadits yang lain, insya Allah Rasulullah Saw bersabda “sesungguh
bukanlah termasuk umatku yang memberat-beratkan (takalluf) dalam
beragama.”
Kemenangan Demokrasi
Kemenangan demokrasi pada Partai Islam, selayaknya tidak dimaknai
akan dibaliknya sebuah hukum negara lama kepada hukum negara yang baru,
syari’at Islam dengan secara cepat.
Tetapi mestinya kemenangan demokrasi dari Partai Islam bisa menjadi
sebuah pemicu atas kemudahannya dalam berbagai fasilitas guna
memperjuangkan Islam lebih baik lagi.
Sebagaimana Islam mendapatkan Hamzah dan Umar, kemenangan umat Islam
ketika mampu merebut hati Hamzah dan Umar untuk ikut kedalam barisan
umat Islam, menjadi benar-benar sebuah kekuatan yang mampu menggetarkan
para musuh-musuh Islam kala itu.
Kita lihat bagaimana ketika Hamzah dan Umar masuk kedalam Islam tidak
serta merta langsung mampu menghancurkan berbagai berhala,
patung-patung, khamr, perzinaan yang saat itu masih saja tersebar luas.
Tetapi ada era baru ketika Hamzah dan Umar masuk kedalam Islam, yaitu
Islam mampu mendapatkan kekuatan dan kewibawaan dihadapan para pemimpin
Quraisy. Islam tidak lagi berada dalam penyiksaan dan penindasan bahkan
pada masa itu Islam tak lagi disebarkan dengan sembunyi-sembunyi,
tetapi dengan terbuka dan kebebasan untuk melakukan ibadah serta
berdakwah.
Nah disinilah titik poin yang terpenting, yaitu Islam mampu menjaga
kewibawaan dan tak lagi dalam masa penyiksaan serta penindasan bahkan
Islam berani untuk mendatangi Ka’bah untuk thawaf dan beribadah, yang
dulunya merupakan tempat yang susah untuk dikunjungi.
Malahan Islam tak lagi takut dengan berbagai ancaman, hingga suatu
kali ketika Rasulullah Saw beribadah disekitar Ka’bah, Rasulullah Saw
dicekik oleh seseorang, hingga akhirnya Abu Bakar langsung menghantam
orang tersebut. Ini belum pernah terjadi sebelum masuknya Hamzah dan
Umar kedalam Islam. Umat Islam semakin berani untuk membalas perlakuan
Quraisy jika ditemukan kezhaliman pada umat Islam.
Itulah keuntungannya, sebagaimana dahulu sebelum masa-masa Partai
Islam ikut demokrasi. Di Indonesia sekalipun, pada masa Orde Baru kita
tidak akan menemukan seorang muslimah yang berani teguh mempertahankan
jilbabnya pada foto KTP, SIM, Ijazah, dsbnya.
Tetapi dimasa Partai Islam ikut pemilu, sedikit demi sedikit Islam
mulai berkembang, ia mulai bebas bergerak dan tak lagi perlu takut
dianiaya oleh aparat. Pengajian sudah mulai marak, tak perlu lagi
sembunyi-sembunyi, wanita juga tak perlu takut untuk tetap
mempertahankan jilbabnya ketika foto KTP, SIM, Ijazah, dsbnya.
Berbagai Perda mulai banyak yang bernuansa syari’at Islam walaupun belum mutlak syari’at Islam.
Ini adalah hasil dari ketika Partai Islam mampu untuk memberikan kontribusi terhadap Islam di Parlemen.
Kemenangan Partai Islam bukan serta merta akan menggulingkan hukum
yang lama digantikan dengan langsung hukum yang baru, syari’at Islam.
Karena semestinya Syari’at Islam itu bukan hanya sekedar sebagai
sumber hukum saja, tetapi mestinya ada pendidikan yang diterapkan
terlebih dahulu. Kedatangan syariat Islam bukan untuk menghukumi tetapi
melindungi dan memberikan kemaslahatan, cara awal memberikan
kemaslahatan itu yah tentu dengan mendidik masyarakat terlebih dulu agar
senantiasa mencintai Islam.
Sebagaimana menurut Imam Al Syathibi mengenai tujuan pokok Syariat
Islam, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.
Menjadi sangat naif sekali ketika kita menginginkan agar Partai Islam
memenangkan sebuah pertempuran politik hanya untuk sebagai labelisasi
dalam formalisasi hukum Islam. Ini merupakan bentuk yang terburu-buru
dan sangat naif sekali dikarenakan menafikkan kondisi masyarakat. Jika
ini dilakukan, tentu akan menjadi benturan-benturan yang kuat
ditengah-tengah masyarakat.
Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya agama
ini mudah, dan tidak akan seseorang memberat-beratkan diri dalam
beragama melainkan akan mengalahkannya. Maka, berlaku luruslah, berlaku
sedanglah, bergembiralah, dan mintalah pertolongan pada waktu pagi,
sore, dan sedikit pada akhir malam.”
Menilik kembali ketika Rasulullah Saw mampu menaklukkan kota Mekkah,
Rasulullah tidak langsung menerapkan syari’at Islam didalamnya.
Rasulullah ternyata masih membutuhkan waktu untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat di Mekkah waktu itu.
Tercatat bahwa Mu’adz bin Jabal yang diutus oleh Rasulullah Saw untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat Mekkah pada waktu itu. Walaupun
Islam sudah menguasai Mekkah, dan Mu’adz bin Jabal diutus untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat Mekkah. Masyarakat Mekkah sendiri
juga masih menganut kebudayaan jahiliyah, yaitu bertawaf sambil
bertelanjang bulat, tanpa sehelai kain menutupi dan itu dilakukan baik
pria maupun wanita.
Pemerintahan Islam yang telah berkuasa di Mekkah saat itu, tidaklah
menjadikan Syari’at Islam langsung diterapkan, butuh waktu 1 tahun
Mu’adz bin Jabal berada di Mekkah. Lantaran dirasa masih kurang oleh
Rasulullah Saw mengenai pemahaman masyarakat kota Mekkah kala itu,
Rasulullah memerintahkan Mu’adz untuk tetap berada di Mekkah hingga
sekitar 2 tahun lagi setelah itu Mu’adz diutus ke Yaman. Dan pada masa
itu masih tidak sedikit orang yang bertawaf dengan telanjang.
Hal ini menjadi sebuah pelajaran penting, bahwa Rasulullah Saw
bukanlah seorang yang keras dalam menerapkan Syari’at Islam, tetapi
seorang yang mampu memberikan kebijaksanaan yang tinggi dalam masalah
Syari’at Islam pada waktu penerapannya di Mekkah. Bisa kita pahami,
ketika itu Rasulullah Saw masih hidup butuh waktu sekitar 3 tahunan
untuk memberikan pengertian mengenai Islam kepada masyarakat Mekkah. Dan
tak tanggung-tanggung, seorang Mu’adz bin Jabal yang menjadi sahabat
Rasulullah, langsung diperintahkan untuk mengajari masyarakat Mekkah.
Sekali lagi, butuh waktu 3 tahunan.
Sekali lagi, kemenangan partai Islam dalam demokrasi belum tentu
harus langsung menjadikan syari’at Islam sebagai pondasi formalisasi
pada hukum negara, ia membutuhkan waktu sebagaimana Rasulullah saw saat
peristiwa didalam perjalanan Sirah-nya.
Tetapi dengan adanya kemenangan Partai Islam dalam demokrasi, ini
sebagaimana kemenangan Islam yang telah mendapatkan Hamzah dan Umar,
sehingga Islam mampu bergerak lebih bebas dan berani serta mempunyai
jaminan kebebasan. Hal inilah yang bisa kita rasakan.
Ingatkan peristiwa Orde Baru? Kita akan susah menemukan berbagai
tempat pengajian dengan terbuka melainkan harus melalui berbagai proses
yang panjang perijinannya, mulai dari Kodim, Babinsa, Polres, polsek,
camat, lurah, semua itu harus diawasi oleh inteligen-intelegen daerah.
Ibaratnya, masa Orde Baru adalah masa “ketika tembok mampu mendengar
dan berbicara”. Kita tidak akan menemukan orang bebas dengan berkata,
apalagi demonstrasi.
Alhamdulillah, seluruh umat Islam akhirnya menikmati demokrasi, baik
yang membolehkan maupun yang mengharamkannya. Karena seluruh orang pada
saat ini mampu menyuarakan hak-haknya, bahkan Demokrasi sendiri
melindungi hak kelompok yang telah mengharamkannya. Coba kita lihat di
Indonesia, adakah orang yang menghina, mencaci demokrasi tetapi mereka
ditangkap polisi? Tidak bukan, tetapi lain lagi ketika menghina, mencaci
kepala negara ataupun orang lain, bisa masuk delik aduan atau bahkan
subversif.
Jadi, lalu kenapa kita tidak berusaha untuk segera meraih Hamzah dan Umar? Mesir sudah meraihnya, lalu Indonesia bagaimana?
Oleh Abu Jaisy