Minggu, 30 Desember 2012

Asal Muasal Budaya Tiup Terompet di tahun baru masehi ...



Di era modern kayak gini nih merayakan tahun baru rasanya gak lengkap bila tidak meniup terompet. Makanya gak heran setiap pada pergantian tahun ratusan terompet berbagai ukuran berpose ditepi jalan. Namun masalahnya siapa sih yang mempopulerkan penggunaan terompet pada malam tahun baru ? Nah begini nih ceritanya.
Semula, budaya meniup terompet ini merupakan budaya masyarakat Yahudi saat menyambut tahun baru bangsa mereka yang jatuh pada pada bulan ke tujuh pada sistem penanggalan mereka atau yang biasa disebut Rosh Hashanah (bahasa Ibrani: ראש השנה). Sebenarnya, Yudaisme memiliki empat hari”tahun baru” yang menandai berbagai “tahun” resmi, seperti halnya 1 Januari menandai tahun baru dalam penanggalan Gregorian. Rosh Hashanah adalah tahun baru untuk manusia, binatang, dan kontrak hukum. Pada malam Rosh Hashanah ini, masyarakat Yahudi melakukan introspeksi diri dengan tradisi meniup shofa, sebuah alat musik sejenis terompet. Bunyi shofar mirip sekali dengan bunyi terompet kertas yang dibunyikan orang Indonesia di malam Tahun Baru. Kalau dilihat dari kacamata orang music nih ya, shofar digolongkan sebagai terompet. Nah terompet sendiri diperkirakan sudah ada sejak tahun 1.500 sebelum Masehi. Pada awalnya, terompet digunakan untuk keperluan ritual agama dan juga digunakan dalam militer teruta saat akan berperang. Ketika masa pertengahan Renaisance, terompet berubah fungsi menjadi alat musik hingga saat ini. Nah itulah cerita tentang terompet dan Rosh Hashanah.

Tapi tenang aja ceritanya belum berakhir kok. Cerita berlanjut ketika Panglima Pompey dari Kekaisaran Romawi Kuno menguasai Yerusalem pada tahun 63 SM, orang-orang Yahudi mulai mengikuti Kalender Julian (Kalender Bangsa Romawi yang menjajahnya). Setelah kejadian itu penggunaan kalender Ibrani mulai menurun. Apalagi setelah berdiri negara Israel pada tahun 1948 M. Mereka lebih menyukai Kalender Gregorian untuk kehidupan pribadi dan kehidupan publik mereka. Dan sejak tahun 1980an, bangsa Yahudi sekuler justru mengadopsi kebiasaan Perayaan Tahun Baru Gregorian (Tahun Baru Masehi) yang biasanya dikenal dengan sebutan ”Sylvester Night” dengan berpesta pada malam 31 Desember hingga 1 Januari. Akhirnya dengan percampuran dua budaya itu akhirnya lahirlah tiup terompet pada malam tahun baru.
Nah itulah cerita di balik layar tentang gimana sih asal usulnya tiup terompet pada malam tahun baru. Semoga setelah baca ini kita bisa sedikit melek terhadap kondisi masyarakat saat ini. Dan bukan berarti kalo niup terompet budaya orang Yahudi terus kalo ngrayain tahun baru gak pake terompet dibolehin ya. Terus belajar dan tetap ikuti tulisan kami berikutnya.

(disadur dari beberapa sumber)

"Ini anomali, karena rakyat dukung KPK tapi juga dukung partai korup."

Hidayat Nur Wahid saat kampanye PKS pada Pemilu 2009. 

Partai Keadilan Sejahtera prihatin dengan sikap sebagian masyarakat yang justru memilih partai politik yang sebagian besar anggotanya terlibat kasus korupsi.

Menurut PKS, hal itu tidak berbanding lurus dengan sikap masyarakat yang memberikan dukungan besar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. “Ini anomali, karena rakyat mendukung KPK tapi rakyat juga mendukung partai yang banyak terlibat kasus korupsi,” kata Ketua Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid dalam konferensi pers ‘Refleksi Akhir Tahun 2012’ di Jakarta, Jumat 21 Desember 2012.

Hidayat tak menyebut partai mana yang ia maksud banyak terlibat kasus korupsi itu. Namun beberapa waktu lalu, Sekretaris Kabinet Dipo Alam pernah membeberkan soal partai politik yang memiliki pejabat yang tersandung kasus hukum.
Menurut Dipo, Partai Golkar berada di urutan teratas dengan 64 pejabat terbelit kasus hukum, disusul PDIP dengan 32 pejabat, Partai Demokrat dengan 20 pejabat, PPP dengan 17 pejabat, PKB dengan 9 pejabat, PAN dengan 7 pejabat, PKS dengan 4 pejabat.

Hidayat kemudian meluruskan data Dipo Alam soal 4 pejabat PKS yang terlibat korupsi. “Faktanya dari 4 kader PKS yang disebut Pak Dipo tersandung kasus hukum, 2 di antaranya telah dibebaskan Mahkamah Agung karena tidak bersalah, yaitu Misbakhun dan Wakil Wali Kota Bogor Achmad Ruyat,” ujar Hidayat.

Dengan demikian, ujar Hidayat, jumlah kader PKS yang terlibat kasus hukum, termasuk korupsi, jauh lebih sedikit ketimbang kader partai lain. “Tapi justru dalam berbagai survei, masyarakat memilih partai yang kadernya lebih banyak tersandung perkara korupsi,” kata dia.

Vivanews

PKS Jamin Tidak Memeras Kumpulkan Modal Pemilu

PKS Jamin Tidak Memeras Kumpulkan Modal Pemilu 

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menjamin kader partainya tidak akan melakukan perbuatan melawan hukum dalam mengumpulkan modal untuk menghadapi Pemilu 2014. Menurut Hidayat, PKS memiliki mekanisme pengumpulan dana sendiri yang dijamin bersih.

"Jaminannya sangat jelas bahwa PKS tidak akan gunakan cara-cara ilegal untuk kumpulkan dana. PKS menolak diartikan seluruh partai politik akan pergunakan 2013 untuk kongkalikong, pemerasan, mengumpulkan dana untuk Pemilu 2014," kata Hidayat seusai mengikuti acara refleksi akhir tahun PKS di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (29/12/2012).

Hidayat mengatakan, tidak ada artinya jika memenangkan Pemilu, tetapi menggunakan cara-cara curang dalam mengumpulkan modal kampanye. Hal itu, menurutnya, tidak akan meningkatkan kualitas pemilu.

"Jadi kami berikan jaminan, siapa pun dari PKS tidak boleh mempergunakan cara yang melanggar hukum, apalagi korupsi, pemerasan, kongkalikong; tidak diperbolehkan," sambungnya.

Tentu saja, lanjut Hidayat, PKS memiliki mekanisme untuk mengawasi para kadernya. Pria yang pernah bersaing memperebutkan kursi DKI 1 itu pun mengatakan, PKS sudah punya cara baku dalam mengumpulkan dana, salah satunya melalui iuran para kader.

"Ada iuran. Kalau ada yang mengatakan tidak ada partai yang iuran, itu bohong. Kami anggota DPR setiap bulan dipotong minimal Rp 20 juta dari gaji. Kami juga punya mekanisme untuk kumpulkan dana," ujar Hidayat.

Menurutnya, PKS sudah mulai menabung mengumpulkan dana sejak 2009. Baik itu dari iuran anggota DPR, DPRD, fraksi, maupun kader lainnya.

"Yang diperlukan bukan money politics. Rakyat harus diyakinkan memilih bagaimana anggota DPR yang bersih," ucapnya.

Hidayat juga meminta Indonesia Corruption Watch membuka data siapa-siapa saja kader PKS yang disebutnya terlibat kasus korupsi. Menurut Hidayat, sepanjang 2012, tidak ada kader PKS yang terlibat kasus korupsi.

"Ada memang dua kader yang pernah kena kasus, tapi sama MA (Mahkamah Agung) dibebaskan, bebas murni, misalnya Pak Misbakhun dan Pak Rukhyat. Memang ada, tapi sudah dibebaskan, apa ini dianggap masih bermasalah? Kami berharap ICW, maupun PPATK, jangan tanggung-tanggung, jangan politisasi menghadirkan sesuatu yang hanya menimbulkan kegaduhan. Sebut saja nama mereka supaya bisa ditindaklanjuti," ujarnya.

Dalam pemberitaan sebelumnya, ICW merilis data kader partai yang terjerat kasus korupsi. Menurut ICW, ada dua kader PKS yang diproses hukum, baik di Kepolisian, Kejaksaan, maupun di KPK. Jumlah kader PKS yang terlibat korupsi ini relatif lebih sedikit dibanding partai lainnya. Menurut ICW, kader Partai Golkar paling banyak terlibat korupsi, yakni 14 orang, disusul dengan Partai Demokrat 10 orang.

ICW juga menengarai, korupsi politik akan semakin masif pada 2013 nanti. Tahun itu, para elite politik tengah sibuk mengumpulkan modal Pemilu 2014.

Kompas

KH Ma’ruf Amin: ‘Cara Berpikir Wahid Institute Itu Sekuler, Berbahaya bagi Akidah Umat Islam’

MUI-KH-Maruf-Amin-jpeg.image 

Wahid Institute menyebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Front Pembela Islam (FPI) menjadi penyebab munculnya kekerasan atas nama agama.
Mengapa Wahid Institute bisa berkesimpulan seperti itu?
Menurut KH Ma’ruf Amin, itu karena lembaga yang didirikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini cara berpikirnya sekuler.
Ketua Pelaksana Harian MUI KH Ma’ruf Amin mengatakan hal ini kepada itoday, Ahad (30/12/2012) menanggapi tuduhan Wahid Institute bahwa MUI, juga FPI, memicu kekerasan atas nama agama.
“Yang dilakukan MUI termasuk fatwa-fatwa itu dalam rangka menjaga akidah,” kata Ketua Komisi Fatwa MUI ini.
Kata Kiai Ma’ruf Amin, cara berpikir Wahid Institute yang sekuler tidak cocok diterapkan di Indonesia. “Wahid Institute itu tidak cocok hidup di Indonesia, dan berbahaya bagi akidah umat Islam,” jelasnya.
Selain itu, menurut Kiai Ma’ruf, fatwa MUI, termasuk pelarangan Ahmadiyah, bukan pemicu kekerasan di Indonesia.
“Kekerasan beda dengan fatwa. Kekerasan terhadap Ahmadiyah karena warga Ahmadiyah tidak mau mentaati SKB Tiga Menteri. Kekerasan karena sikap Ahmadiyah sendiri, bukan fatwa MUI,” tegas Kiai Ma’ruf Amin. 
 
SalamOnline