Sabtu, 16 Februari 2013

Di Manakah Tujuh Langit Itu?



Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba‑Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda‑tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Isra’ : 1).
Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat  sebahagian tanda‑tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS. An‑Najm:13‑18).
Ayat-ayat itu mengisahkan tentang peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Mi’raj adalah perjalanan dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha. Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal‑hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Di dalam kisah yang agak lebih rinci di dalam hadits disebutkan bahwa Sidratul Muntaha dilihat oleh Nabi setelah mencapai langit ke tujuh. Dari kisah itu orang mungkin bertanya-tanya di manakah langit ke tujuh itu. Mungkin sekali ada yang mengira langit di atas itu berlapis-lapis sampai tujuh dan Sidratul Muntaha ada di lapisan teratas. Benarkah itu? Tulisan ini mencoba membahasnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.
Sekilas Kisah Isra’ Mi’raj
Di dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan Isra’ dan mi’raj dengan menggunakan “buraq”. Di dalam hadits hanya disebutkan bahwa buraq adalah ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Ini menunjukkan bahwa “kendaraan” yang membawa Nabi SAW dan Malaikat Jibril mempunyai kecepatan tinggi.
Apakah buraq sesungguhnya? Tidak ada penjelasan yang lebih rinci. Cerita israiliyat yang menyatakan bahwa buraq itu seperti kuda bersayap berwajah wanita sama sekali tidak ada dasarnya. Sayangnya, gambaran ini sampai sekarang masih diikuti oleh sebagian masyarakat, terutama di desa-desa.
Dengan buraq itu Nabi melakukan Isra’ dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Setelah melakukan shalat dua rakaat dan meminum susu yang ditawarkan Malaikat Jibril Nabi melanjutkan perjalanan mi’raj ke Sidratul Muntaha.
Nabi SAW dalam perjalanan mi’raj mula-mula memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang di kanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam‑kalam (‘pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non‑fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (zhahir) di dunia: sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir.
Jibril juga mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat An‑Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib.
Mulanya diwajibkan shalat lima puluh kali sehari‑semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh‑sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, “Saya telah meminta keringanan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah.” Maka Allah berfirman, “Itulah fardlu‑Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba‑Ku.”
Di manakah Tujuh Langit
Konsep tujuh lapis langit sering disalahartikan. Tidak jarang orang membayangkan langit berlapis-lapis dan berjumlah tujuh. Kisah Isra’ mi’raj dan sebutan “sab’ah samawat” (tujuh langit) di dalam Al-Qur’an sering dijadikan alasan untuk mendukung pendapat adanya tujuh lapis langit itu.
Ada tiga hal yang perlu dikaji dalam masalah ini. Dari segi sejarah, segi makna “tujuh langit”, dan hakikat langit dalam kisah Isra’ mi’raj.
Sejarah Tujuh Langit
Dari segi sejarah, orang-orang dahulu –jauh sebelum Al-Qur’an diturunkan — memang berpendapat adanya tujuh lapis langit. Ini berkaitan dengan pengetahuan mereka bahwa ada tujuh benda langit utama yang jaraknya berbeda-beda. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan mereka atas gerakan benda-benda langit. Benda-benda langit yang lebih cepat geraknya di langit dianggap lebih dekat jaraknya. Lalu ada gambaran seolah-olah benda-benda langit itu berada pada lapisan langit yang berbeda-beda.
Di langit pertama ada bulan, benda langit yang bergerak tercepat sehingga disimpulkan sebagai yang paling dekat. Langit ke dua ditempati Merkurius (bintang Utarid). Venus (bintang kejora) berada di langit ke tiga. Sedangkan matahari ada di langit ke empat. Di langit ke lima ada Mars (bintang Marikh). Di langit ke enam ada Jupiter (bintang Musytari). Langit ke tujuh ditempati Saturnus (bintang Siarah/Zuhal). Itu keyakinan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta.
Orang-orang dahulu juga percaya bahwa ke tujuh benda-benda langit itu mempengaruhi kehidupan di bumi. Pengaruhnya bergantian dari jam ke jam dengan urutan mulai dari yang terjauh, Saturnus, sampai yang terdekat, bulan. Karena itu hari pertama itu disebut Saturday (hari Saturnus) dalam bahasa Inggris atau Doyoubi (hari Saturnus/Dosei) dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Indonesia Saturday adalah Sabtu. Ternyata, kalau kita menghitung hari mundur sampai tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1 memang jatuh pada hari Sabtu.
Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi Hari Matahari (Sunday, Ahad), Hari Bulan (Monday, Senin), Hari Mars (Selasa), Hari Merkurius (Rabu), Hari Jupiter (Kamis), dan Hari Venus (Jum’at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.
Jumlah tujuh hari itu diambil juga oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab nama-nama hari disebut berdasarkan urutan: satu, dua, tiga, …, sampai tujuh, yakni ahad, itsnaan, tsalatsah, arba’ah, khamsah, sittah, dan sab’ah. Bahasa Indonesia mengikuti penamaan Arab ini sehingga menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu. Hari ke enam disebut secara khusus, Jum’at, karena itulah penamaan yang diberikan Allah di dalam Al-Qur’an yang menunjukkan adanya kewajiban shalat Jum’at berjamaah.
Penamaan Minggu berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang berarti hari Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan Kristen bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi orang Islam tidak mempercayai hal itu, karenanya lebih menyukai pemakaian “Ahad” daripada “Minggu”.
Makna Tujuh Langit
Langit (samaa’ atau samawat) di dalam Al-Qur’an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan‑lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda‑benda langit sama sekali tidak ada. Sedangkan warna biru bukanlah warna langit sesungguhnya. Warna biru dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh atmosfer bumi.
Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh  puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al‑Baqarah:261 Allah menjanjikan:
Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH  tangkai yang masing‑masingnya berbuah seratus butir.  Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang‑orang yang dikehendakinya….
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah….
Jadi  ‘tujuh langit’ semestinya dipahami pula sebagai tatanan benda‑benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan‑lapisan langit.
Tujuh langit pada Mi’raj
Kisah Isra’ Mi’raj sejak lama telah menimbulkan perdebatan soal tanggal pastinya dan apakah Nabi melakukannya dengan jasad dan ruhnya atau ruhnya saja. Demikian juga dengan hakikat langit. Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi’ra. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah Isra’ mi’raj adalah langit ghaib.
Dalam kisah mi’raj itu peristiwa lahiriah bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitul Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, nampaknya pengertian langit dalam kisah mi’raj itu memang bukan langit lahiriah yang berisi bintang-bintang, tetapi langit ghaib.
Prof. Dr. Thomas Djamaluddin
Djamaluddin, lahir di Purwokerto, 23 Januari 1962, putra pasangan Sumaila Hadiko, purnawirawan TNI AD asal Gorontalo, dan Duriyah, asal Cirebon
dakwatuna

Mathori, Aleg PKS ‘Tukang Angkat Junjung’ Tetangga yang Pindahan Rumah





Inilah kisah-kisah luar biasa para kader dakwah di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mungkin jarang orang mengetahui. Salah satunya adalah kisah ustadz Mathori, si “anak kampung” yang sekarang dipercaya oleh masyarakat menjadi wakil rakyat di DPRD Kota Banjarmasin.

Ustadz yang satu ini sekarang juga menjadi ketua Komisi I DPRD Kota Banjarmasin, namun meski memiliki jabatan tersebut, ustadz Mathori tetap tidak berubah. Ia masih seperti yang dulu. Seperti anak kampung yang merakyat.

Ustadz Mathori pun sudah biasa berbaur dengan rakyat jelata, di dalam gang-gang kecil, pelosok daerah dan dekat dengan para pedagang kaki lima di Banjarmasin. Bahkan, jika ada tetangga yang mau pindah rumah, beliau tak segan langsung membantu mengangkut barang-barang, seperti “kuli angkut” di pelabuhan.

Kalau kita berkunjung ke rumah beliau, kita akan menemukan sosok yang tak ubahnya seperti warga kampung biasa. Pakai sarung, baju kaos seadanya dan berbaur seperti masyarakat pada umumnya. Pun begitu, jika ustadz Mathori sudah berada di DPRD Kota Banjarmasin, dia benar-benar “garang” dan tak segan-segan mengkritik maupun memberikan solusi.

SEJAK KECIL DITINGGAL ORANG TUA

Sejarah hidup ustadz Mathori, anak kampung kelahiran Bilis-Bilis, Jawa Timur 43 tahun lalu ini memang penuh lika-liku. Sudah banyak mencicipi “asam-garam” kehidupan.

Sejak kelas 4 SD, sosok Mathori kecil sudah harus merasakan ditinggal orang tua, yang merantau ke pulau Kalimantan. Oleh karena itu, ia terpaksa harus belajar hidup mandiri.

Sampai saat ia duduk di kelas 2 Tsanawiyah, beliau terpaksa “istirahat” selama satu semester. Apa yang ia lakukan? Mencari uang untuk biaya sekolah dan kehidupannya. Selama satu semester itu ia mengumpulkan biaya untuk sekolahnya kemudian.

JADI PENGUMPUL SISA PADI & JUAL KAYU BAKAR

Waktu di Tsanawiyah, ustadz Mathori tak malu mengumpulkan sisa-sisa padi dari petani yang sedang panen. Selain padi, beliau juga mengumpulkan sisa-sisa panen jagung untuk dijual.

“Saat itu, pikiran hanya ingin mengumpulkan uang buat biaya sekolah dan mau beli peci sama sepatu,” tuturnya.

Selama tidak masuk selama satu semester itu, guru-guru di sekolah pun mulai mencari-cari, kemana kah murid yang bernama Mathori itu. Sampai akhirnya, guru Biologi bernama Pak Kholan, mendatangi rumah ustadz Mathori dan meminta beliau tetap melanjutkan sekolah, dengan biaya ditanggung oleh pak Kholan, sang guru Biologi itu.

“Beliau sangat saya ingat. Pak Kholan itu menurut saya berjasa terhadap kelanjutan sekolah saya waktu itu,” katanya.

PERNAH JADI PENGEMBALA SAPI

Waktu terus berlalu. Akhirnya ustadz Mathori lulus Tsanawiyah, dan mau melanjutkan ke SMA. Namun untuk bisa melanjutkan ke SMA, beliau juga memerlukan biaya. Karena kekurangan, beliau berinisiatif membantu orang, yang punya pabrik kerupuk dan ternak sapi. Walaupun mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan biaya sekolah, beliau masih harus mencari rumput dan mengembala sapi setiap hari, sebagai timbal balik.

LANJUT JADI KULI ANGKUT KAYU

Singkat cerita, ustadz Mathori akhirnya merantau ke Banjarmasin, setelah lulus kuliah. Bukannya mendapat pekerjaan di posisi atas, beliau harus merasakan menjadi buruh angkut kayu di perusahaan kayu. Mengangkut kayu dari kapal tiung, ke tempat pemotongan kayu. Itu dijalaninya dengan sabar.

KEMUDIAN JADI SATPAM

Kisah si “Anak Kampung” ini tak hanya sampai di situ. Saat mendapat pekerjaan di perusahaan asuransi, beliau mengundurkan diri, dan kembali ke perusahaan kayu. Lagi, bukannya mendapat posisi “atas” beliau harus merasakan menjadi petuhas keamanan atau Satpam di perusahaan kayu itu. “Bahkan saya sempat nangis, karena saat itu pernah dilempar orang pakai ketapel dari sungai, kena kepala,” ujarnya.

KEHIDUPAN MEMBAIK, LALU JATUH LAGI

Setelah lama menjadi Satpam, beliau akhirnya direkomendasikan menjadi staf bagian logistik. Sudah mulai baju kantoran dan ruang kerja yang rapi. “Tapi karena usaha kayu mulai lesu, dan hampir bangkrut saat itu, saya memilih mundur. Kemudian memilih jalan dakwah, membuka pengajian, lembaga Al Quran, dan Majelis Taklim. Salah satu yang mendorong saya adalah bapak Ustadz Karyono Ibnu Ahmad. Beliau memotivasi saya,” tutur beliau.

Setelah lama mengabdi di jalan dakwah, didukung istri tercinta, akhirnya beliau bergabung bersama partai dakwah, Partai Keadilan Sejahtera. Dan akhirnya terpilih dan dipercaya masyarakat menjadi anggota DPRD Kota Banjarmasin. 

Hingga kini, ustadz Mathori tak berubah. Dia tetap seperti “anak kampung” yang dulu. keluar masuk gang-gang, dan memberikan ceramah ke pelosok-pelosok daerah. Sekaligus “berjihad” di parlemen untuk membela kepentingan masyarakat. 

“Intinya saya bertekad memperjuangkan rakyat. Saya merasakan bagaimana susahnya hidup masyarakat di bawah mahalnya harga barang. Bismillah, mudahan istiqamah,” ucapnya.

pkspiyungan

Wahdah Islamiyah Sampaikan Simpati dan Harapan Kepada PKS

Silaturahim PKS ke Wahdah Islamiyah. (dakwatuna.com / Samin Barkah)



Orasi dan pidato yang disampaikan Presiden Partai Keadilan Sejahtera M Anis Matta mendapat apresiasi yang positif dari masyarakat. Salah satu apresiasi tersebut datang dari Wahdah Islamiyah yang menyambut positif cara Bung Anis dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami PKS. Hal tersebut terungkap dalam silaturahim Presiden PKS beserta jajarannya ke Wahdah Islamiyah di Makassar, Ahad, 10 Februari 2013.
Silaturahim diawali dengan perkenalan antara PKS dan Wahdah Islamiyah beserta strukturnya. Pertemuan berlangsung di ruang serba guna Masjid WI Makassar yang dihadiri sekitar seratus orang. Hadir dalam silaturahim tersebut Ketua Umum Wahdah Islamiyah Zaitun Rasmin, Lc. MA. yang menyambut kedatangan para pengurus DPP PKS.
Pertemuan ini merupakan jalinan kerjasama atau kunjungan balasan PKS atas kunjungan Wahdah Islamiyah ke DPP PKS di Jakarta bersama dengan MIUMI beberapa hari yang lalu. Wahdah Islamiyah sendiri merupakan salah satu unsur dalam MIUMI. Wahdah Islamiyah yang merupakan ormas ini tersebar di 34 Provinsi di Indonesia.
Dalam silaturahim tersebut, Wahdah Islamiyah menyampaikan rasa keprihatinan dan simpati kepada PKS, sebagai salah satu partai umat terdepan atas apa yang menimpanya. Wahdah Islamiyah juga menyampaikan harapan kepada Bung Anis sebagai Presiden PKS agar dapat menahkodai bahtera partai dengan sebaik-baiknya, penuh amanah dan tanggung jawab.
Selain itu Wahdah Islamiyah juga mengharapkan agar PKS semakin gigih berperan dan memperjuangkan aspirasi umat, dan mensejahterakan bangsa, menegakkan kebenaran dan kejujuran serta keadilan. Wahdah Islamiyah juga ingin agar PKS lebih dekat dengan tokoh-tokoh umat dan para ulama sebagai jati diri partai ini.

dakwatuna

KAMMI Laporkan Metro TV ke KPI

Logo Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).



Setelah kasus fitnah bahwa kelompok Rohis adalah sarang teroris, stasiun Metro TV kembali menayangkan berita berupa program INSIDE edisi “Berdarah Yahudi, Bernafas Indonesia” tanggal 14 Februari 2013 yang memuat kelompok – kelompok penentang penjajahan atas bumi palestina dengan sebutan kelompok intoleran dan anti semit. Salah satunya adalah organisasi mahasiswa ekstra , Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

“Memang tidak disebutkan secara jelas nama organisasi KAMMI, namun aksi bebaskan Palestina yang dilakukan KAMMI dengan pengambilan gambar logo dan bendera dilakukan dengan durasi yang cukup lama dan berulang” Ujar Zahra, Humas KAMMI Pusat.

Hari ini KAMMI resmi melaporkan tindakan Metro TV tersebut kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
Secara terpisah , Azimah Soebagijo, komisioner KPI Pusat menyerukan agar terus membangun kesadaran masyarakat untuk kritis terhadap pesan – pesan media. Mengajak berfikir dan berdiskusi tentang segala hal yang terjadi di sekitar mereka, karena jelas media sarat kepentingan.



dakwatuna