Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Berdakwah lewat partai politik memang sering
menimbulkan polemik. Ada yang setuju dan mendukung sekali secara mutlak, tetapi
ada juga yang justru sangat antipati. Di tengah-tengahnya ada kalangan yang
agak mengambang, antara mendukung dan tidak, semua dikembalikan kepada manfaat
dan madharatnya.
Kalau mau dikembalikan ke zaman nabi Muhammad SAW,
rasanya kita memang tidak menemukan sosok beliau sebagai aktifis partai. Bukan
apa-apa, sebab memang tidak ada partai-partaian di masa beliau. Makkah memang
tidak menganut sistem politik seperti di masa kita sekarang ini. Boleh dibilang
sistemnya adalah kabilah dan suku, bukan pola semacam state atau negara, bahkan
kerajaan pun juga bukan.
Maka kalau acuannya harus ada contoh teknis dari
Rasulullah SAW, rasanya memang tidak akan ketemu dalilnya. Tapi apakah bila
tidak ada contoh teknis acuan yang detail, lantas berpartai boleh dibilang
bid'ah atau menyalahi sunnah?
Pada titik inilah sebenarnya terjadi pangkal
masalahnya. Dan polemik berkepanjangan antara pendukung dan anti dakwah lewat
partai memang sering terjebak pada diskusi yang tidak habisnya. Kadang diskusi
itu ikut memanas sesuai dengan suhu politik, dan dingin dengan sendirinya
dengan kondisi yang lain.
Pendukung Dakwah Lewat Partai
Kalau kita teliti lebih dalam, dakwah lewat partai
terkadang malah diperintahkan. Bahkan kami menemukan pernah sampaikan dalam
jawaban terdahulu bahwa beberapa ulama yang sering dianggap sebagai tokoh
salafi, seperti Syeikh Bin Baz, Syeikh Al-Utsaimin, Syeikh Muhammad Nashiruddin
Al-AlBani, Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan, Syeikh Abdullah bin Qu'ud dan lainnya
malah membolehkan dakwah lewat partai.
Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa mereka
cenderung membolehkannya? Bukankah sistem partai itu bersumber dari sistem
kafir? Bukankah demokrasi itu bertentangan dengan hukum Allah? Bukankah Islam
tidak mengenal sistem pemungutan suara? Bukankah kekuasaan bukan di tangan
rakyat tapi di tangan Allah?
Kalau kita cermati latar belakang kenapa mereka
membolehkannya, semuanya hampir mirip jawabnnya, yaitu selama berpartai itu
memberikan manfaat buat umat dan ada mashlahat yang bisa dicapai, tentu
dibenarkan dan tidak ada alasan untuk menolaknya.
Lalu bagaimana dengan kufurnya sistem demokrasi? Bukankah
kita tidak boleh masuk ke dalam sistem kufur itu?
Syeikh Bin Baz menjawab, "Rasulullah SAW
bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang
mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk
masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima
kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT.
Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu
yang membantu terpilihnya para da'i yang shalih dan mendukung kebenaran dan
para pembelanya, wallahul muwafiq."
Ulama besar Saudi Arabia yang pernah menjabat
sebagai mufti kerajaan ini menambahkan, "Masuk ke dalam lembaga seperti
itu berbahaya, namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan
kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa
rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agama Allah
SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan."
"Dengan niat yang baik seperti ini, saya
memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya
lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya."
Pendapat Syeikh Al-Utsaimin
Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan
bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara dengan Syaikh Utsaimin.
Wartawan majalah Al-Furqan bertanya tentangapa hukum masuk ke dalam parlemen.
Syaikh Al-'Utsaimin menjawab bahwa dirinya
memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila
seseorang bertujuan untuk mashlahat, baik mencegah kejahatan atau memasukkan
kebaikan.
Sebab menurut beliau, semakin banyak orang-orang
shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan
dan semakin jauh dari bencana. (Lihat majalah Al-Furqan - Kuwait hal. 18-19)
Pendapat Yang Anti Partai
Sedangkan argumentasi kalangan yang anti partai ada
dua macam.
Pertama, mereka yang sejak awal memang sudah
antipati dengan dakwah dengan cara apapun kecuali seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Jadi dakwah itu menurut mereka tidak boleh pakai partai, harus
ceramah dan pidato saja.
Kalangan ini memang sejak awal sudah tidak pernah
mendukung urusan berpartai, bahkan tidak sedikit dari mereka juga tidak pernah
mau ikut pemilu dan sejenisnya. Mungkin buat mereka, berpartai itu hanya
buang-buang umur, mending ngurus bisnis. Kita bisa menyebut mereka sebagai
kalangan yang masa bodo dengan partai.
Kedua, adalah kalangan yang awalnya ikut setuju dan
mengusung dakwah lewat parlemen. Namun dalam perjalanannya, dinamika organisasi
membuatnya 'tergeser keluar', seolah sudah tidak 'terpakai' lagi. Atau malah
merasa tidak 'pernah dipakai'. Hanya dijadikan prajurit yang bekerja keras,
sementara segelintir kalangan elit duduk enak-enakan menikmati semua fasilitas
mewah yang diterimanya.
Maka sedikit demi sedikit kekuatan beberapa partai
itu menjadi agak rapuh, karena ada semacam resistensi dari akar rumput secara
internal, yang awalnya kecil tapi kemudian semakin sering muncul. Hal seperti
ini sering kita lihat di hampir semua partai, baik yang mengusung nama Islam
atau yang masih 'agak' malu-malu dengan aroma Islam.
Saling Hormat
Lepas dari polemik yang tidak ada habisnya itu,
maka akan menjadi manis rasa perbedaan itu seandainya semua tetap dihiasi
dengan akhlaq, adab Islami, husnudzhzan, cinta kepada sesama muslim, dan
toleransi.
Sebab perbedaan dalam memlih teknis berdakwah ini
sampai hari kiamat tidak akan ada habisnya. Sampai ada teman yang senangnya
mikirin hari kiamat saja sambil menanti-nanti kapan Imam Mahdi datang.
Kalau ada teman kita yang asyik dengan dakwah di
parlemen dan mungkin kita tidak setuju, tentu tidak pada tempatnya untuk kita
caci maki atau kita jatuhkan citranya di muka umum.
Sebaliknya, kalau kita termasuk yang punya semangat
empat lima mendukung dakwah lewat partai, tidak ada salahnya kita bertenggang
rasa dengan kalangan yang agak kurang mendukung dakwah model partai. Jangan
kita vonis sebagai pembangkang atau pengkhiatan dulu, sebab boleh jadi yang
terjadi adalah macetnya jembatan komunikasi.
Setidaknya kalau tidak bisa bersatu, tapi tidak
harus saling ejek, saling caci, saling benci, saling jegal dan saling
menjatuhkan. Sebab biar bagaimana pun kita ini bersaudara. Dan harga
persaudaraan itu jauh lebih berharga dari semua yang akan kita capai.
Persaudaraan itu nikmat yang Allah SWT karuniakan, maka syukurilah nikmat
bersaudara itu.
Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat persaudaraan dari Allah itu menjadi orang-orang yang bersaudara
(QS. Ali Imran: 103)
Alangkah tragisnya kalau sesama saudara sendiri
kita malah saling melontarkan dugaan yang kurang pantas. Bukankah Allah SWT
telah melarang kita dari perbuatan keji itu?
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purba-sangka, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujuran:
12)
Tanpa sadar terkadang majelis kita lebih sering
jadi majelis pergunjingan, misalnya tentang si Fulan yang dulu keredan sekarang
naik mobil mewah karena jabatannya. Atau tentang si Fulan yang dulu mau nikah
saja teman-temannya harus patungan, tapi sekarang lagi asyik memanjakan isteri
mudanya jalan-jalan ke luar negeri.
Dan kalau mau diusut ke sana kemari, rasanya kok
sumber segala masalah itu kembali ke harta. Jadi tidak salah kalau Allah SWT
berfirman:
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.
(QS. Al-Anfal: 28)
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc