Jumat, 28 Desember 2012

“Indonesia Bagaikan Tanpa Pemimpin”

“Indonesia Bagaikan Tanpa Pemimpin” 

Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrati Indonesia (PDIP) Arif Budimanta menilai Indonesia pada tahun 2012 tanpa pemimpin bangsa. Sebab, arah bangsa tidak jelas akan dibawa ke mana.
“Negara berjalan layaknya kapal tanpa nahkoda di tengah samudra. Kami tidak tahu tujuannya, berlayar saja,” tegas Arif di Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, dalam diskusi bertajuk ‘Refleksi MPR RI tentang Stabilitas Politk 2013′.
Menurut dia, ini yang tidak terlihat di tahun 2012. Sejauh ini pemimpin tidak mencerminkan kedekatannya dengan rakyat. Sehingga segala kebijakan yang diambil terlihat jauh dengan rakyat.
“Terjadi ketika pemimpin tidak menyadari, tapi pemimpin yang mengambil jarak dengan bangsanya. Yang membuat quality itu ya negara, ya presiden,” tandas Arif.
Model kepemimpinan di 2012 ini, lanjut dia, tidak mencerminkan arah yang jelas. Justru semakin berkutat pada polemik-polemik baru yang dihasilkan pemimpin itu sendiri dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Ketika pemimpin mengambil jarak, menimbulkan polemik baru, kata-kata bijak yang seolah-olah menghasilkan padahal menghasilkan masalah baru,” kata dia.
Arif juga menilai, fungsi pemerintah sebagai pengambil kebijakan juga tidak berjalan. Justru, yang terjadi adalah pemimpin hanya berpendapat. “Seperti pengamat saja. Di sinilah masalahnya. Bahwa pemimpin yang masih jauh dari rakyat, dan mengambil kebijakan yang tidak mengena pada rakyat.”
“Yang menjadi persoalan pemimpin yang jaga jarak dan mengkerdilkan konstitusi melalui kebijakannya,” tambah Arif.
Sebelumnya dikatakan, Indonesia saat ini dinilai kurang memiliki pemimpin yang tegas dan cepat dalam mengambil suatu keputusan. Selain itu, pemimpin yang ada saat ini dinilai juga kurang merakyat. Demikian disampaikan pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Rubijanto Misman.
“Memang susah mencari figur-figur yang seperti ini. Jadi, saya berharap, presiden dalam lima tahun ke depan (presiden terpilih dalam Pemilihan Presiden 2014, red.), di samping orangnya tegas, berani mengambil risiko, cepat dalam mengambil keputusan, dan mau melindungi rakyatnya,” kata dia kepada wartawan di Purwokerto, hari ini.
Pernyataan tersebut sebagai respon terkait munculnya beberapa nama yang bakal meramaikan bursa calon presiden pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 mendatang. Mengenai hal itu, setiap warga negara memiliki hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden.
Kendati sah-sah saja melakukan langkah politik tersebut, menurut dia, setiap warga negara tetap harus menakar kemampuannya. Sehingga tidak hanya berpatokan pada popularitas, yang berlabel pada tokoh masyarakat dan seniman.
“Sering kali ada kesan orang itu terjebak dalam popularitas sebagai seniman atau artis. Kalau kita menelusuri ‘track record-nya’ (rekam jejaknya, red.), saya tidak pernah dengar orang-orang itu punya ‘track record’ yang berkaitan dengan kemampuan manajerial maupun ‘leadership’ dalam suatu organisasi, apalagi ini suatu negara. Saya melihatnya seperti latah,” tuturnya.
Sejumlah artis misalnya, dicontohkan dia, ikut mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Pencalonan para tersebut, dinilai dia, sering kalai dilihat sebagai sebuah glamor. Karena, hal itu disebabkan sosok keartisannya yang memiliki konstituen, yang tidak lain para penggemarnya dan wajar jika kemudian dengan setia mendukung.
“Tetapi kita tidak tahu persis kompetensi dan kredibilitas yang bersangkutan. Jadi harus dilihat ‘track record-nya’, latar belakangnya dia dulu,” kata mantan Rektor Unsoed Purwokerto ini.
Pemimpin bangsa, ujar dia, tidak hanya sekadar bermodalkan pada popularitas seseorang. Melainkan juga menyertakan penilaian-penilaian lain, Menurut Rubijanto, jika orang itu merupakan seorang akademisi, dia harus mempunyai prestasi yang bagus dalam memimpin perguruan tinggi serta memiliki kemampuan-kemampuan yang bagus dalam memajukan institusi sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

fimadani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar