
“Change will not come if we wait for some other
person, or if we wait for some other time. We are the ones we’ve been waiting
for. We are the change that we seek.” (Barack Obama)
Tak dapat
disangkal, saat ini banyak orang menyenangi kata “perubahan”. Tapi apakah
mereka mengerti konsekuensi-konsekuensi dari perubahan? Rasanya belum tentu.
Masih banyak orang yang berpikir change atau perubahan adalah “ganti orang”
atau ganti pimpinan. Maka tak aneh bila kata “perubahan” bukan cuma laku dalam
dunia usaha, melainkan juga dalam pilkada atau pemilu.
Kalau dibawa
ke ranah itu, hampir pasti perubahan dibaca dari sisi politik. Atau bisa jadi
kaum profesional yang sedang melakukan transformasi berpotensi menjadi korban
politisasi. Lagi asyik melakukan transformasi yang bukan main banyak musuhnya,
malahan dapat “musuh baru”, yaitu kandidat pejabat publik yang butuh suara.
Mengapa begitu?
Selalu Ada Resistensi
Saya kira
publik sudah semakin cerdas dan mengerti, perubahan selalu berhubungan dengan
adanya “kelompok yang melawan”. Kaum resisten ini jumlahnya tidak
banyak, tetapi mereka sangat vokal dan berjuang agar tidak kehilangan. Di bumi
yang perasa, orang yang pernah menduduki posisi terhormat bila kehilangan
jabatan karena tidak lolos fit and proper test bisa berarti kehilangan
muka. Dan “kehilanganmuka” bisa berarti “tsunami” bagi pelaku pelaku
transformasi.
Padahal
transformasi tidak bisa jalan bila tidak mendapatkan energi yang kuat.
Transformasi butuh suasana persatuan dan kepercayaan. Banyak orang tak
menyadari, setiap langkah transformasi sangat berisiko bagi jabatan seseorang.
Kalau hanya kehilangan kursi saja itu belumlah seberapa. Dalam banyak kasus,
kelompok yang resisten tidak hanya mengungkit kursi, melainkan mencari cara
untuk menemukan kesalahan-kesalahan kecil yang bisa diperbesar. Padahal dalam
era VUCA, manusia bekerja dalam iklim yang kompleks dan mudah mengambil langkah
yang salah, lupa atau ada saja kekurangannya.
The Burning Platform
Dalam buku ChaNgE!
yang saya tulis tahun 2005, Robby Djohan memberikan kata pengantarnya. Ini
mungkin kata pengantar terpendek yang pernah saya terima, tapi isinya sungguh
mengena pada sasaran. Saya kutipkan saja sebagian: “Perubahan adalah bagian
yang penting dari manajemen dan setiap pemimpin diukur keberhasilannya dari
kemampuannya memprediksi perubahan dan menjadikan perubahan tersebut suatu
potensi.
”Lalu, pada
alinea kedua Robby menulis catatan yang menurut saya sangat penting bukan saja
karena pengakuannya yang jujur, tapi memang sering kita alami: “Sering kali
seorang CEO, termasuk saya sendiri, berhadapan dengan perubahan setelah dia
sudah berada di ambang pintu.Situasi seperti ini mungkin dapat diatasi, tetapi
hasilnya pasti bukan sebagai suatu potensi ataupun kegunaan.” Robby memang
selalu bicara to the point.
Perubahan,
bagi sebagian kita, adalah sesuatu yang menakutkan. Namun, manakala kita
berhasil mengendalikan rasa ketakutan itu, perubahan menjadi energi yang luar
biasa untuk membuat kita bangkit kembali. Namun manakala kita kalah, betapa
bisingnya suara di luar. Apalagi bila Anda melakukan perubahan pada lembaga
yang ada hubungannya dengan negara, milik negara atau milik pemerintah daerah.
Anda akan menyaksikan banyak “peluru nyasar” yang tidak jelas hendak ditembak
ke mana.
Perhatikan
saja betapa “bisingnya” keributan di seputar Bank BJB yang muncul justru pada
saat pemungutan suara. Itu pun bisa jadi ajang perpecahan sesama aktivis yang
mulanya sama-sama mau memberantas korupsi. Ada peluru yang ditujukan kepada
salah satu kandidat meski informasi awalnya mungkin berasal dari orang dalam
yang ditujukan kepada salah satu calon direksi yang jabatannya diinginkan orang
lain. Lalu ada lagi peluru yang disasarkan kepada CEO.
Penembak
yang lihai ternyata juga tak bisa menembakkan peluru ke sasaran yang tepat
karena begitu masuk ke ranah politik,tiap pihak punya kepentingan yang berbeda
dan sulit dikendalikan. Akhirnya tsunami terjadi betulan, bukan hanya change
maker yang terlibat, melainkan juga lembaganya akan sulit dibangun kembali.
Belajar dari berbagai perubahan yang dilakukan di sejumlah lembaga publik maupun BUMN besar yang rumit mengingatkan saya pada sosok panglima perang yang terkenal dalam sejarah Islam, Thariq bin Ziyad.
Belajar dari berbagai perubahan yang dilakukan di sejumlah lembaga publik maupun BUMN besar yang rumit mengingatkan saya pada sosok panglima perang yang terkenal dalam sejarah Islam, Thariq bin Ziyad.
Kisahnya
kurang lebih begini. Thariq yang lahir sekitar tahun 670 Masehi dibesarkan
kabilah Nafazah di Afrika Utara. Perawakannya tinggi, keningnya lebar, dan
kulitnya putih kemerahan. Thariq adalah murid seorang komandan perang di Afrika
Utara yang dikagumi karena kegagahannya, kebijaksanaannya, dan terutama
keberaniannya. Suatu ketika seorang pangeran Spanyol, Julian, meminta bantuan
pembimbingnya untuk menaklukkan Raja Roderick yang berkuasa di Spanyol.
Lalu, Thariq
diutus untuk mengintai kekuatan bangsa Visigoth dan menjajaki kemungkinan
pengiriman pasukan dalam jumlah besar. Akhirnya, waktunya pun tiba. Ketika Raja
Roderick sedang sibuk menghadapi pemberontakan di kawasan utara kerajaannya,
Thariq datang dengan 7.000-an prajuritnya untuk menyerbu Spanyol. Pengiriman
pasukan dilakukan melalui laut. Pasukan ini mendarat di dekat gunung batu besar
yang kelak dinamai Jabal (Gunung) Thariq. Orang-orang Eropa menyebutnya
Gibraltar.
Ketika
sampai di Spanyol, Thariq mengambil keputusan yang sangat mengejutkan seluruh
prajuritnya dan dikenang sebagai langkah fenomenal hingga saat ini. Ia membakar
semua perahu yang digunakan untuk mengangkut para prajuritnya. Para prajuritnya
tentu saja terperangah, kaget, dan sebagian bahkan marah. Setelah membakar
semua perahu, Thariq berdiri di hadapan prajuritnya dan berkata, “Di mana jalan
pulang? Laut ada di belakang kalian. Musuh ada di depan kalian. Mereka sudah
siaga. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, tidak ada
makanan kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian.”
Dalam ilmu manajemen, apa yang dilakukan Thariq dikenal dengan istilah the burning platform dan itu pulalah yang dilakukan para change maker yang piawai kala dipercaya memimpin transformasi.
Dalam ilmu manajemen, apa yang dilakukan Thariq dikenal dengan istilah the burning platform dan itu pulalah yang dilakukan para change maker yang piawai kala dipercaya memimpin transformasi.
Kebanyakan
pemimpin mau tak mau harus menciptakan kondisi yang membuat semua orang tidak punya
pilihan lain, tidak bisa mundur lagi, sama seperti yang Thariq lakukan. Kalau
mau bertahan hidup, Thariq dan para prajuritnya hanya punya satu pilihan, yakni
maju terus. Begitu pula yang terjadi dengan kebanyakan perusahaan milik negara
yang sarat politisasi. Kalau para karyawannya ingin bertahan hidup, mereka
harus maju membenahi bersama.
Hanya itu
pilihannya. Masalahnya, apakah para aktivis kebijakan publik mengerti bahwa
mereka bisa dipakai kaum resisten untuk menaburkan peluru amarah mereka yang sedang
kehilangan muka? Pilihannya hanya dua: bersekutu dengan the losers
yang resisten atau memperkuat the winners agar menghasilkan transformasi
yang berujung kebaikan. Atau mungkin mereka berpikir ada opsi ketiga yang
kita tak pernah tahu apa itu. Kala keributan menjadi mahal, semua ada ongkosnya
dan tentu saja ada tukang catutnya.
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI | @Rhenald_Kasali on twitter
pkspiyungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar