
Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2014, kondisi
politik di Indonesia mulai memanas. Sejumlah partai politik terus berupaya
membangun citra, demi mendongkrak elektabilitas partai.
Tapi, tak hanya berupaya memoles citra, sejumlah
partai politik juga menyerang partai politik lain, untuk menjatuhkan citra. Hal
itu, terlihat dari banyaknya kader partai politik besar yang terseret kasus
korupsi.
Menurut Wakil Bendahara Umum (Wabendum) Golkar, Bambang
Soesatyo, ada selentingan rumor yang menyatakan, saat ini ada operasi intelijen
bersandi SS yang tengah dijalankan kelompok tertentu. Operasi itu dilakukan
dengan cara menghembuskan kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik.
Tujuannya agar elektabilitas lawan politiknya menurun.
“Operasi sandi SS ini dijalankan kepada lawan
politiknya untuk menyamakan skor keterpurukan (partai yang sedang terpuruk),”
kata pria yang akrab disapa Bamsoet itu, usai diskusi ‘Distrust Rakyat Pada
Partai Politik: Proyeksi Pemilu 2014′ di Center for Dialogue and Cooperation
among Civilizations (CDCC), Jakarta, Rabu (20/2/2013).
Bamsoet menjelaskan, operasi SS ini sendiri sudah
terbukti ketika Partai Demokrat dihantam kasus korupsi dan membuat
elektabilitas diberbagai lembaga survei menurun. Terakhir, kata dia, kasus suap
impor daging sapi yang melibatkan mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq.
Kasus itupun secara tidak langsung mengancam elektabilitas PKS.
“Banyaknya partai yang tersandung kasus itu akan semakin mencoret citra partai di mata masyarakat dan secara tidak langsung akan berimbas pada partisipasi masyarakat dalam Pemilu,” jelasnya.
“Banyaknya partai yang tersandung kasus itu akan semakin mencoret citra partai di mata masyarakat dan secara tidak langsung akan berimbas pada partisipasi masyarakat dalam Pemilu,” jelasnya.
Selain itu, kata Bambang, kasus korupsi juga digunakan
sejumlah politisi sebagai alat untuk menghancurkan lawan politiknya dengan
membentuk stigma buruk. “Stigma jelek terlibat dalam korupsi sama seperti
stigma ‘kontrarevolusi di masa demokrasi terpimpin dan stigma ‘terlibat PKI’ di
masa orde baru,” tambahnya.
Lebih lanjut, Bamsoet menjelaskan memang kasus yang
menjerat politikus tidak bisa digeneralisasi langsung kepada parpol secara
kelembagaan. Tapi, opini publik berkata yang sebaliknya. Satu orang korupsi
maka satu partai merasakan akibatnya.
dakwatuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar