
Saya
merindukan azan yang lantang keluar dari masjid, seperti yang biasa saya dengar
di daerah Kebayoran lama, Jakarta. Azan mengingatkan saya untuk salat. Azan
mengingatkan saya kepada Allah.
Di London
ini tidak ada azan yang lantang seperti di Kebayoran lama. Tak ada yang
mengingatkan duhur, asar, atau magrib telah tiba. Kesibukan kantor membuat satu
dua kali saya lupa dengan salat. Apalagi tidak ada musala di kantor saya. Ini membuat saya gelisah.
Berat
ternyata tinggal di Inggris. Sementara teman-teman saya, mereka sepertinya
tidak peduli dengan salat. Saya tahu mereka Muslim, tapi saya tak pernah
melihat mereka salat. Saya tahu mereka Muslim, tapi kaleng bir ada di tas
mereka.
Saya merasa
jauh dengan Allah.
Hingga
kemudian saya berkenalan dengan seseorang. Sebut saja namanya Arif. Dari perkenalan
ini saya tahu ia rutin mengadakan pengajian dua mingguan di rumahnya. Arif
meminta saya datang.
Ada sekitar
lima atau enam orang yang datang di pengajian Arif ini. Kami belajar membaca
Quran, mengkaji ayat dan hadis. Juga bagaimana dulu Nabi Muhammad menyebarkan
Islam.
Dari
pengajian ini saya tahu ternyata Arif juga sering mengisi di
pengajian-pengajian lain di beberapa kota di Inggris. Ia meninggalkan rumahnya
Sabtu malam, tiba di kota tujuan Ahad pagi, mengisi pengajian di Ahad siang,
dan kembali lagi pada Ahad sore.
Saya merasa
sangat beruntung dipertemukan dengan Arif.
Darinya saya
merasa rasa ke-Islam-an saya makin tebal. Bacaan Quran saya makin lancar,
pengetahuan ayat Quran dan hadis makin banyak, dan saya bisa menikmati indahnya
salat.
Saya merasa
modal saya hidup di negeri dengan mayoritas penduduk non-Muslim makin besar.
Saya pernah mendengar seorang ustadz yang mengatakan, “Di Indonesia, lawan yang
kita hadapi adalah Elly Pical. Tapi di London, yang kita hadapi adalah Mike
Tyson.”
Elly Pical
dan Mike Tyson adalah petinju. Bedanya yang satu kelas ringan, satunya lagi
kelas berat. Artinya tantangan bagi seorang Muslim di negara seperti Inggris
jauh lebih berat.
Belakangan
saya tahu ternyata Arif ini kader PKS.
Saya terus
terang tidak suka dengan partai. Bagi saya, orang-orang yang menjalankan partai
adalah orang-orang yang sibuk membela kepentingan mereka sendiri. Saya tidak
melihat mereka bekerja untuk kepentingan rakyat. Di mata saya, politisi yang
melakukan korupsi atau memperkaya diri sendiri bukan hal yang luar biasa.
Bukankah mereka bekerja untuk mereka sendiri?
Arif
mengubah persepsi saya tentang partai.
Ternyata ada
kader partai yang bekerja secara suka rela demi orang banyak. Ada ternyata,
kader yang rajin datang ke berbagai pengajian, membina umat, meski saya tahu
kegiatan semacam ini tidak ringan.
Keluar rumah
pagi-pagi di tengah suhu udara yang membeku untuk mengejar bus atau kereta
pertama, agar bisa tiba di kota tujuan tepat waktu. Kadang ia harus berada di
bus semalaman.
Yang mungkin
agak aneh, Arif tak pernah meminta kami mencoblos PKS. Seingat saya, dalam
pengajian rutin kami, ia tidak pernah menyebut nama PKS.
Orang
Inggris mengatakan, “Action speaks louder than the words.” Aksi nyata lebih
bermakna dari deretan kata-kata.
Kerja
nyatanya untuk umat membuat kami jatuh cinta.
Dan saya
yakin banyak sekali Arif-Arif lain di berbagai negara. Apalagi di Indonesia…
pk-sejahtera.org.uk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar