
“GARUDA Pancasila, Akulah Pendukungmu,” itulah
secuplik bait lagu Garuda Pancasila yang akrab di telinga anak-anak Indonesia karena
menjadi lagu ‘wajib’ saat orde baru berkuasa. Banyak orang bertanya darimana
inspirasi hingga burung Garuda dijadikan lambang Pancasila?
Asal muasal penggunaan lambang Garuda Pancasila
bermula saat Sultan Abdurrahman Hamid Alkadrie II (Sultan Hamid II) memenangi
sayembara lambang negara. Sayembara ini diadakan oleh Presiden Soekarno yang
merasa perlu bagi Indonesia memiliki lambang negara setelah merdeka.
Sebelumnya ada usulan lambang negara yang diajukan
oleh M. Yamin namun ditolak oleh panitia karena masih ada pengaruh Jepang
melalui penempatan sinar matahari.
Inspirasi lambang Garuda diperoleh Sultan Hamid II
dari lambang kerajaan Sintang, sebuah kerajaan Hindu yang didirikan seorang
Tokoh Hindu dari Semenanjung Melaka bernama Aji Melayu.
Garuda Pancasila sendiri adalah burung
Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi Hindu kuno dalam sejarah
nusantara, yaitu kendaraan Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda
digunakan sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa
yang besar dan negara yang kuat.
Dikisahkan, dalam rangka mencari ide untuk membuat
lambang Negara, Sultan Hamid II mencari inspirasi mulai dari satu tempat ke
berbagai wilayah Kalimantan Barat. Mulanya, Sultan Hamid II mengunjungi Sintang
hingga kemudian bertolak ke Putus Sibau.
Di Putus Sibau, pihak swa praja mengusulkan kepada
sultan yang lahir tahun 1913 itu untuk menggunakan lambang burung Enggang.
Namun usul itu urung diterima, karena Sultan Hamid II lebih tertarik pada
lambang burung Garuda yang menjadi lambang kerajaan Sintang. Hingga Sultan
Hamid II pun berinisiatif meminjam lambang kerajaan Sintang untuk menjadi
lambang Negara Indonesia.
Sultan Hamid II sendiri adalah seorang pengikut
Freemason (tarekat mason bebas) dan Theosofi. Ia mewarisi ‘darah’ masonik dari
garis Abdul Rachman, Sultan Pontianak yang terdaftar dalam Freemason di
Surabaya pada 1944. Jenjang pendidikan sultan yang kemudian menjadi Menteri
Negara Repulik Indonesia Serikat (RIS) itu adalah sekolah dasar Belanda, bahkan
termasuk salah seorang Indonesia yang disekolahkan di sekolah militer Belanda
di Breda.
Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang
dibuat Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Dialog intensif
antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri
Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu.
Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula
adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka
Tunggal Ika”.
Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan
dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan
terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang
perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar
lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang,
sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS
melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya
“Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan,
rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya
dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.Ketika itu gambar bentuk
kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan tidak berjambul seperti
bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama
kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada
15 Februari 1950.
Islampos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar